Home Archives

Manzahari : Covid-19 Prank Pemerintah ?

SHARE |

Lhokseumawe, Pandemi Covid-19 serasa Prank Pemerintah Indonesia yang terus dikawal baik pusat maupun Pemerintah Provinsi dan Kabupaten/Kota. Pertengahan Tahun 2019 isu Virus berbahaya yang datang dari Negara China itu membuat penduduk dunia geger panik terhadap serangan yang akan membuat kesehatan bahkan nyawa manusia bisa tak tertolong lagi.

Di beberapa Negara bahkan hampir semua Negara diawal datangnya pandemi langsung mengambil kebijakan lockdown untuk menyelamatkan rakyatnya dari virus yang mematikan itu, seperti Italia, Denmark, Prancis, Hongkong dan lainnya

Begitupun Negara Indonesia juga ikut mengambil kebijakan-kebijakan guna untuk penanganan antisipasi virus yang akan masuk ke dalam Negeri Seperti Peraturan Pemerintah (PP) tentang Pembatasan Sosial Berskala Besar. Tindakan PSBB ini meliputi peliburan sekolah, tempat kerja, pembatasan kegiatan keagamaan, dan juga pembatasan kegiatan di tempat atau fasilitas umum. Kemudian Perpu Nomor 1 Tahun 2020 yang mengatur tentang kebijakan keuangan Negara dan stabilitas keuangan untuk penanganan pandemi Covid-19 dan dalam rangka menghadapi ancaman yang membahayakan perekonomian nasional dan/atau stabilitas sistem keuangan.

Selain itu juga menerapkan PPKM di Pulau Jawa dan Bali mulai 11 hingga 25 Januari 2021, yang diklaim berbeda dengan PSBB, hingga Sanksi bagi Pelanggar Protokol Kesehatan. Presiden Jokowi meminta kepala Daerah membuat aturan turunan dari Inpres Nomor 6 Tahun 2020 tentang Peningkatan Disiplin dan Penegakan Hukum Protokol Kesehatan dalam Pencegahan dan Pengendalian Covid-19, yang memuat sanksi bagi pelanggar. Dalam pelaksanaan peraturannya, Jokowi meminta TNI-Polri mengerahkan kekuatan untuk mengawasi pelaksanaan protokol kesehatan di masyarakat.

Ketika kabar covid telah tiba di Indonesia saat itu, berita dari televisi, Radio, media cetak dan media online terus mengabarkan perkembangan angka ODP, PDP dan Positif, ini membuktikan bahwa Covid-19 telah masuk juga di tanah air sehingga perlu kiranya Pemerintah mengambil tindakan untuk menyelamatkan rakyatnya, namun kebijak Pemerintah sangat berpotensi melanggar HAM. KontraS mencatat sejumlah pelanggaran hak asasi manusia selama pandemi COVID-19 (Januari – April 2020), mulai dari:

  1. Hak atas Standar Kesehatan Tertinggi, seperti akses informasi yang minim, kekurangan tenaga medis, kekurangan sarana dan prasarana penunjang pelayanan kesehatan, tidak ada prosedur khusus untuk pasien yang ingin melakukan tes COVID-19.
  2. Hak atas informasi
    pemerintah terus menutupi dan memonopoli informasi mengenai sebaran daerah merah yang menyulitkan tidak hanya publik tapi juga pemerintah daerah untuk mengambil tindakan pencegahan yang efektif dan memadai, Hal ini bertolak belakang dengan kewajiban menyampaikan informasi dari sejumlah peraturan seperti pasal 154 Jo. 155 UU No. 36 tahun 2009 tentang Kesehatan, serta Pasal 9 ayat (2) huruf d UU Nomor 14 tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik, Pasal 19 Undang-Undang nomor 12 tahun 2005 tentang Kovenan Internasional Hak Sipil dan Politik, dan Pasal 14 UU 39.1999 tentang Hak Asasi Manusia yang pada intinya merupakan jaminan hak setiap orang untuk mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi.
  3. Hak atas fair trial
    Dalam kurun waktu 5 Maret-21 April 2020, data KontraS terdapat 93 peristiwa penindakan oleh aparat berkaitan dengan ancaman kebebasan sipil selama masa PSBB. Sejumlah peristiwa seperti penangkapan sewenang-wenang (17 kasus), penangkapan dengan tuduhan penghinaan pejabat negara (8 kasus) dan penanganan hoax (41 kasus), problem akses terhadap bantuan hukum pada pendampingan kasus seperti dalam kasus kelompok anarko dan Ravio Patra menunjukkan kesewenangan aparat kepolisian dalam melakukan penegakan hukum.
  4. Hak atas kebebasan berekspresi
    setelah keluarnya Surat Telegram Kapolri (ST/1100/IV/HUK.7.1.2020), 41 kasus penangkapan terhadap orang-orang yang dituduh menyampaikan penghinaan terhadap pejabat Negara atau menyebarkan berita bohong. Hal tersebut menjadi pelanggaran HAM jika dilakukan dalam konteks mengkritik, mempertanyakan dan menyampaikan keluhan mengenai cara-cara pemerintah dalam menangani pandemi
  5. Hak untuk bebas dari diskriminasi dan Stigmatisasi tersebut lahir akibat penyebaran informasi yang dilakukan pemerintah tidak akurat dan parsial sehingga mengakibatkan publik menerima informasi tidak utuh dan mengambil sikap sendiri yang keliru. Hal ini kembali menegaskan dampak dari pelanggaran hak atas informasi terhadap dimensi hak lainnya.

Kemudian jika lebih jauh kita melihat cukup banyak kerumunan-kerumunan yang terjadi setalah peralarangan ditetapkan baik di Indonesia maupun di luar Negeri. di America contohnya setelah unjuk rasa atas pembunuhan George Floyd oleh seorang polisi kulit putih yang terjadi ketika banyak kasus yang sudah dicatat oleh Negara saat itu, namun tidak juga satupun dari mereka dikabarkan meninggal setelah aksi unjukrasa tersebut, begitupun juga di Indonesia, Cukup banyak Aksi-aksi dan kerumunan-kerumunan yang terjadi baik dilakukan oleh masyarakat maupun pemerintah sendiri. Aksi Mahasiswa tolak Revisi UU KPK, RUU KUHP, Omnibus Law, dan banyak aksi-aksi Nasional yang dilangsungkan dalam kondisi pandemi dan tidak juga menambah angka kasus yang tinnggi.

Tidak hanya masyarakat yang ikut berkuruman melanggar prokes yang ditetapkan pemerintah, namun beberapa bulan yang lalu pemerintah juga tidak mempedulikan aturan yang telah diterbitkan, dengan melangsungkan Pilkada saat pandemi hingga sangat jelas para kandidat yang melanggar prokes saat melangsungkan kampanye di Daerah. bahkan kepala Negara sendiri Presiden juga ikut membuat kerumunan saat kunjungannya ke Maumere, Kabupaten Sikka, Nusa Tenggara Timur NTT, dan setelah itu juga tidak ada berita yang mengabarkan angka kasus bertambah.

setelah berbagai peristiwa tersebut masyarakat dibuat bingung dengan fakta dilapangan yang berbeda dengan data-data yang di umumkan oleh Pemerintah, 2020 angka pasien, angka kematian, angkat odp itu terus bertambah drastis hingga kebijakan darurat sipil, bahkan lhokdown total dilakukan di beberapa daerah di indonesia, seperti DKI dll.

Yang membuat bingungnya lagi, ada juga berita yang mengatakan pasien dipaksakan terkena virus dengan dibayar, begitu juga orang meninggal yang di klaim karna covid padahal meninggal karna penyakit lain, tujuannya untuk apa?

Begitu juga peraturran yang sama sekali tidak masuk akal, salah satu contoh Mahkamah Agung (MA) telah menerbitkan Peraturan Mahkamah Agung No. 4 Tahun 2020 tentang Administrasi dan Persidangan Perkara Pidana di Pengadilan Secara Elektronik (Perma Sidang Pidana Online). Prinsipnya, hakim/majelis hakim, panitera pengganti, penuntut bersidang di ruang sidang pengadilan. Sementara terdakwa mengikuti sidang dari Rutan tempat terdakwa ditahan dengan didampingi/tanpa didampingi penasihat hukum. Atau hakim/majelis hakim, panitera pengganti bersidang di ruang sidang pengadilan, sedangkan penuntut umum mengikuti sidang dari Kantor penuntut umum, terdakwa dengan didampingi/tanpa didampingi penasihat hukumnya mengikuti sidang dari Rutan tempat terdakwa ditahan, dimana logikanya?

Begitu juga dengan dunia pendidikan, sekolah di daringkan, kampus di daringkan, sangat banyak terjadi kesenjangan sosial di masyarakat ketika pemerintah menerapkan peraturan tersebut, orang tua murid tidak punya uang untuk membeli hp, lalu mencuri demi anaknya bias belajar. memang benar untuk antisipasi, lebih baik mengah dari pada mengobati, namun kesannya Covid ini seperti di buat-buat di desain oleh pemerintah sedemikian extrim demi tujuan tertentu, bahkan dengan semua aktivitas diluburkan malah DPR membuat rapat secara langsung untuk membahas RUU Omnibuslaw.

Sudah sangat wajar jika masyarakat tidak percaya jika corona itu ada dan sangat berbahaya di indonesia, Corona seperti hanya prank pemerintah saja.

Apakah tujuannya, sampai saat ini belum bisa kita pastikan apa, baru-baru ini di tahun 2021 aktifitas masyarakat seperti biasanya, tidak ada bedanya kecuali di perkantor dan di tempat” tertentu, selebinya di pasar, tempat ibadah, jalan raya, itu tidak ada lagi yang namanya mematuhi protokol lesehatan yang di tetapkan pemerintah, presiden juga berkurumun, bahkan baru” ini kongres HMI di selenggarakan di surabaya, hampir pulahan ribu kader HMI dari seluruh pelosok Nusantara hadir di kongres, namun tidak satupun dari merekan yang tumbang dan dari sekian kasus di atas tidak satupun yang tumbang seperti yang diberitakan bahwa virus itu berbahaya dan mematikan.

Jadi apalagi yang harus dipaksakan untuk wagra Negara percaya bahwa covid-19 itu benar adanya, sedangkan buktinya tidak ada, namun saat ini tidak ada lagi media yang memberitakan soal angka-angka tersebut, hanya seremonial-seremonial seperti program vaksin dll.

Apa yang sedang dilakukan pemerintah, jika untuk menyelamatkan rakyatnya dari virus, buktinya setelah ada yang melanggar prokes tidak ada yang tumbang karna virus, bahkan pemerntah yang membuat masyarakat melarat, pengusaha ada yang tutup usahanya, pedangan kecil ada yang tidak bisa jualan, bermacam-macam kasus sosial setelah kebijakan pemerintah di terbitkan.

Tujuan negara salah satunya adalah melindungi, mencerdaskan kehidupan berbangasa dan menyejahtera rakyatnya sesuai dengan prinsip negara hukum yang menjungjung tinggi nilai-nilai Hak Asasi manusia, malah membuat masyarakatnya melarat, belum lagi korupsi yang di lakukan oleh Menteri kabinet Jokowi di saat pandemi berlangsung, Sadis.

Dari berbagai data dan fakta di atas maka sekira masyarakat tida bisa dipaksakan untuk percaya terhadap pemerintah dengan berbagai kebijakan yang di ambil untuk kepentingan rakyat, namun semua itu dinilai prank pemerintah.

Sudah sebaiknya negara kembali normal, tidak perlu lagi pemerintah mempertahankan hal-hal yang tidak logika, cabut segala peraturan yang membuat masyarakat bimbang dan bingung terkait prokes, yang negara tidak suka di tangkap, yang negara suka dibiarkan. Banyak masyarakat yang melanngar prokes di proses hukum tapi pemerintah bahkan presiden sendiri yang melanggar tidak apa-apa.

Hukum tajam ke lawan tapi tumpul ke kawan, kalau kata roky Gerung hukum hanya berlaku untuk Oposisi, untuk menjerat lawan politik yang sedang berkuasa. Ini yang membuat masyarakat bingung dengan kepastian hukum yang dibuat pemerintah.

Tags:

Share :

SHARE |

Leave a Comment

ARTIKEL TERKAIT

REKOMENDASI UNTUKMU