Oleh : Alfathur Rizki (Kader Liga Mahasiswa Nasional untuk Demokrasi)
Mataaceh.com| Indonesia sebagai sebuah negara yang berbasis demokrasi dan berlandaskan hukum dalam penyelenggaran kehidupan berbangsa dan bernegara,hak berbicara atau berpendapat menjadi sebuah hal penting dan subtansial di dalamnya tentang bagaimana kedaulatan rakyat diwujudkan dengan bentuk-bentuk ekpresi warga negara salah satunya adalah kebebasan berpendapat di muka umum yang merupakan sebuah hak dasar setiap orang yang dikenal sebagai hak asasi manusia dimana hak asasi ini merupakan seperangkat hak yang melekat pada hakikat
dan keberadaan manusia sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa dan merupakan anugrah-Nya yang wajib dihormati, dijunjung tinggi dan dilindungi oleh negara,hukum,pemerintah dan setiap orang demi kehormatan serta perlindungan harkat dan martabat manusia.
Serta kebebasan berpendapat juga dilindungi oleh konstitusi sebagaimana termaktub dalam pasal 28E ayat (3) UUD 1945 yang berbunyi “setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul dan mengeluarkan pendapat.”
Dengan demikian berarti bahwa ekspresi setiap orang dalam berpendapat baik itu mengkritik pemerintah atau hal lain sejenisnya tidak boleh untuk di persekusi atau di perlakukan tidak adil dan sewenang-wenang terhadapnya karena mengingat kebebasan tersebut sebuah hak mutlak yang melekat pada setiap individu sebagai sebuah karunia tuhan terhadapnya semenjak ia lahir di atas permukaan bumi, perbuatan-perbuatan amoral yang inkonstitusional semacam itu adalah tindakan biadab di dalam demokrasi yang mengangkangi konstitusi dan hukum itu sendiri.
Aceh utara sebagai sebuah daerah yang berada di dalam teritorial indonesia dan juga bernaung di bawah konstitusi UUD 1945 yang mengakui tentang kebebasan berbicara (freedom of speech) dimana perihal-perihal terkait merupakan aspek-aspek fundamental untuk diakui, dilindungi dan dihormati.
Namun demikian pasca aksi demontrasi penolakan perbup no 3 Tahun 2021 di kantor bupati aceh utara oleh elemen aparatur desa dan mahasiswa yang tergabung dalam Liga Mahasiswa Nasional untuk Demokrasi (LMND) pada awal maret 2021 tragedi penyerangan berupa peretasan akun sosial media yang mengorbankan beberapa media sosial milik demonstran dari aksi tersebut, yang mana hal tersebut patut diduga berkaitan dengan aksi
unjuk rasa tersebut.
Hal itu merupakan sebuah pengangkangan terhadap hukum dan konstitusi dimana penyerangan terhadap akun-akun media sosial tersebut adalah perbuatan yang melawan hak dalam hal ini juga sebagai sebuah perbuatan melawan hukum sebagaimana di atur di dalam
BAB VII Pasal 30 Ayat 1,2 dan 3 serta pasal 32 ayat 1 Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 Tentang Perubahan Atas Undang-undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi Dan Transaksi Elektronik.
Yang juga hal terkait itupun diatur dalam pasal 22 hurf b Undang-Undang Nomor 36 Tahun 1999 Tentang Telekomunikasi yang bunyinya “Setiap orang dilarang melakukan perbuatan tanpa hak, tidak sah, atau memanipulasi akses ke jaringan telekomunikasi; dan atau akses ke jasa telekomunikasi; dan atau akses ke jaringana telekomunikasi khusus.”
Kemudian dari pada itu perbuatan peretasan akun sosial media milik beberapa demonstran diaceh utara itu secara politis berindikasi bahwa perbuatan itu merupakan intervensi terhadap gejolak politik setempat dimana rezim adalah pihak yang paling mungkin untuk dicurigai dalam hal ini. Sebab bila dilihat dari gerak-gerak historisnya sejumlah pejuang-pejuang demokrasi terdahulu dan mereka-mereka yang loyal mengiterupsi rezim lenyap dari peredaran karna ditelan oleh rezim yang berkuasa.
Terlepas dari semua itu perlu digaris bawahi dalam hal ini bahwa Aceh Utara mulai defisit ruang demokrasi, tragedi yang melanda demonstran tersebut menjadi bukti nyata bahwa ruang gerak untuk berekspresi mulai terancam dan hal ini harus dilihat secara serius karna kita tidak ingin mengalami otoritarianisme rezim sebab hal ini pernah dirasakan pada era orde baru yang krisis kebebasan berpendapat, bagaimana dikala itu ruang gerak kita sangat dibatasi terutama dalam melontarkan berbagai sikap-sikap kritis terhadap kekuasaan
Banyak korban-korban demokrasi berserakan dan hilang ditelan rezim. Bila kita melihat apa yang pernah disampaikan oleh Hannah Arendt yang merupakan seorang teoretikus politik Jerman; bahwa asal usul dari totalitarianisme sebuah bangsa adalah berawal dari pengekangan hak-hak dasar warga negara. Hal mana keadaan dimaksud itu kini mulai menampakkan dirinya dibumi Aceh Utara.
Darurat berpendapat mesti dilihat dengan serius selain karena alasan-alasan fundamental terkait dengan hak kebebasan individu sebagai hak asasi manusia hal ini juga menyangkut dengan keamanan politik didalamnya.
Apabila sebuah rezim yang dalam pemerintahannya kebebasan berekspresi sebagai sarana demokrasi mulai mengalami penyekatan maka kedepannya akan terjadi kedaruratan-kedaruratan yang lebih serius, hal-hal itu dapat kita pelajari dari sejarah terdahulu baik nasional maupun internasional. Sementara itu kedepannya kita berharap hal-hal serupa yang telah terjadi hari ini tidaklah terulang kembali, meskipun ini sekilas terlihat dalam skala yang tidak begitu besar tetapi secara filosofis hal ini berimplikasi besar sebab hak-hak kebebasan bereksprsi itu merupakan karunia Tuhan yang diberikan langsung dan tidak dapat dikurangi, kecuali dalam keadaan-keadaan tertentu dan itupun terhadap hak-hak yang tergolong dalam hak asasi yang dapat dikurangi (derogable) dan hak kebebasan berekspresi ini termasuk kedalamnya, namun demikian terdapat alasan yang cukup signifikan untuk menguranginya yaitu “pertama, ancaman tersebut memengaruhi seluruh penduduk dan seluruh atau sebagian wilayah Negara.
kedua, mengancam integritas fisik penduduk, kemerdekaan politik atau keutuhanwilayah Negara atau keberadaan fungsi dasar dari lembaga yang sangat diperlukan untuk menjamin hak asasi manusia.” (Eko Riyadi, 2018: 51).
Bila dilihat dengan ukuran-ukuran yang dikristalisasi tersebut yang juga merupakan bagian dari prinsip siracusa dapatlah ditarik kedalam sebuah konklusi yang mana keadaan atau situasi yang tercipta daripada demonstrasi tersebut nyata-nyata tidak memenuhi standar-standar untuk mengaktualisasikan prinsip pengurangan, dan ini sebuah kejanggalan dan kekeliruan besar untuk itu.
Maka logikanya adalah dalam hal ini untuk melakukan sebuah tindakan pengamputasian secara legal dengan payung hukum yang sah sekalipun tidak ada ruang yang memungkinkan lantas apalagi dengan perbuatan-perbuatan yang
menimpa para demonstran dalam aksi demonstrasi tersebut adalah nyata-nyata sebuah perbuatan yang melawan hak dan diluar dari jalur hukum yang juga menjurus sebagai tindakan inkonstitusional, sehingga hal itu adalah bagian dari pada tindakan yang mengancam demokrasi yang menyebabkan kebebasan untuk berpendapat kini mulai terganggu dan terancam dengan adanya tindakan-tindakan gelap semacam itu.