OLEH SULTHAN ALFARABY (Penulis Buku Cahaya di Dalam Gelap)
Mataaceh.com| APA yang terlintas di benak kita ketika mendengar kata “Paguyuban?”. Apakah sebuah perkumpulan, tempat bernaung, atau organisasi yang memiliki ikatan kekeluargaan yang sangat erat dan berisikan anggota-anggota dari daerah yang punya tujuan yang sama? Lalu, apa tujuannya paguyuban dibentuk dan apa manfaat yang didapat ketika kita berkecimpung didalam paguyuban? Ini adalah pertanyaan besar yang harus dituntaskan segera, agar calon anggota maupun yang sudah menjadi anggota, tidak terjerumus kedalam jurang yang gelap atau masih meraba-raba tentang makna paguyuban itu sendiri.
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), paguyuban merupakan perkumpulan yang bersifat kekeluargaan, didirikan orang-orang yang sepaham (sedarah) untuk membina persatuan (kerukunan) di antara para anggotanya.
Melalui KBBI, kita sejenak bisa meresapi bahwa paguyuban itu adalah organisasi yang didirikan oleh orang-orang yang mempunyai kepentingan sama dan mengutamakan nilai-nilai kekeluargaan dan kerukunan. Oleh sebab itu, paguyuban haruslah menjadi wadah atau alat untuk membangun mimpi dan perjuangan secara bersama-sama tanpa adanya unsur kepentingan pribadi. Baik kepentingan Dewan Pengurus Harian (DPH) dan sejenisnya maupun kepentingan oknum tertentu.
Menurut Ferdinand Tonnies, paguyuban merupakan bentuk kehidupan bersama dimana anggota-anggotanya diikat oleh hubungan batin yang murni dan bersifat alamiah serta bersifat kekal. Dasar hubungan tersebut adalah rasa cinta dan rasa kesatuan batin yang memang telah dikodratkan. Kehidupan tersebut dinamakan juga bersifat nyata dan organis, sebagaimana dapat diumpamakan dengan organ tubuh manusia atau hewan. Bentuk paguyuban terutama akan dapat dijumpai didalam keluarga, kelompok kerabatan, rukun tetangga dan lain sebagainya.
Paguyuban sering juga kita temui di berbagai daerah.
Selain itu, karena paguyuban merupakan wadah yang berisikan beragam jenis kelompok orang di daerah, maka tak jarang jika banyak oknum tokoh-tokoh politik yang sengaja merangkul paguyuban karena dianggap sebagai “Power” bagi dirinya. Maklum, karena paguyuban adalah wadah yang dianggap solid dan tentunya mempunyai banyak massa, baik dari kalangan muda khususnya maupun kalangan masyarakat umum.
Di lain sisi, paguyuban juga harusnya berperan aktif dalam membina potensi seorang kader agar bisa diberdayakan ke arah positif. Hal ini bisa seperti pengembangan softskill, kreatifitas atau nilai-nilai akademis anggota yang akan sangat berguna bagi dunia kerja. sebagai makhluk sosial yang membutuhkan wadah pengembangan diri bagi banyak orang, maka paguyuban adalah salah satu organisasi yang tepat untuk mencapai hal tersebut.
Seperti yang dikatakan oleh Mulyadi (2012), bahwa kehidupan manusia senantiasa mengalami perubahan dan perkembangan yang tidak pernah berhenti. Banyak hal yang menyebabkan mengapa manusia senantiasa berubah dan berkembang. Salah satu penyebab terpenting terjadinya perubahan dan perkembangan manusia adalah dimilikinya akal, sebuah kemampuan luar biasa, yang tidak dimiliki oleh makhluk lain. Berkat akal yang dimiliki, manusia mampu mengembangkan dirinya sendiri guna mengaktualisasikan potensi yang ada pada dirinya sendiri.
Melihat dari sisi itu, maka kegiatan-kegiatan yang bersifat membangun sangatlah penting dan dibutuhkan ketimbang kegiatan yang bersifat seremonial belaka. Selanjutnya, Ketua Umum selaku pimpinan penting di paguyuban, haruslah bijak dalam menentukan setiap sikap. Kebijakan ini jangan lahir karena intervensi senior atau pendahulu, melainkan harus dihasilkan dari kesepakatan bersama dan menimbang kepentingan masyarakat di luar paguyuban. Karena jika paguyuban menentukan arah haluan secara sepihak tanpa memperhatikan kondisi sosial, acuh terhadap masalah-masalah di masyarakat, atau karena sudah kongkalikong dengan oknum tertentu karena ikut mendapatkan “cipratan” keuntungan dana, maka apa bedanya paguyuban dengan mafia? Jangan sampai suatu saat akan lahir paguyuban bermental mafia yang melenceng dari haluan awal dan sudah saatnya kita pertanyakan kembali kepada diri masing-masing bahwa kenapa organisasi ini didirikan.
Berbicara soal “cipratan” dana, maka ini tak kalah menarik jika kita melirik lebih jauh. Seperti kita ketahui, bahwa sebuah organisasi, apalagi sekelas paguyuban, sangat berpotensi mendapatkan dana bantuan dari pihak-pihak yang menjadi mitranya. Baik dana itu berasal dari pihak yang berketerkaitan langsung dengan Program Kerja (Proker) maupun di luar Proker. Dana-dana itu ada yang sengaja dikucurkan kepada sebuah organisasi dengan tujuan untuk memperlancar jalannya Proker (bisa dicairkan melalui beragam syarat) dan ada dana yang sengaja diberikan secara “cuma-cuma” sebagai bentuk imbalan yang kurang jelas maksudnya. Namun, selama dana itu sepenuhnya digunakan untuk tujuan dan kepentingan bersama tanpa “colekan” oleh sebelah pihak, maka tentu tidak ada masalah jika digunakan untuk mengimplementasikan kegiatan-kegiatan yang bersifat membangun.
Penting untuk diingat, bahwa persoalan dana yang diberikan kepada organisasi merupakan persoalan yang sangat berisiko jika kita melihat secara dekat. Bahkan, ada yang mencapai puluhan juta, ratusan juta, bahkan miliaran. Dalam segi ini, anggota-anggota haruslah lebih kritis dalam menyikapi persoalan ini dan jangan sampai dana-dana tersebut tidak digunakan dengan semestinya dan menjadi “uang jajan” yang diselundupkan dalam kantong Ketua Umum dan jajaran. Kita harus lebih bijak dalam menyikapi, dan harus membayangkan bahwa ketika kita sudah berlelah-lelah maupun berdarah-darah mewujudkan marwah organisasi tetap berdiri tegak, namun jangan sampai nantinya malah Ketua Umum menyantap dana-dana itu dengan nikmat tanpa adanya transparansi secara menyeluruh (Baik memaparkan secara langsung kepada internal maupun publikasi kepada khalayak publik) sebagai bentuk pertanggungjawaban.
Padahal, pada awalnya setiap pemasukan yang diterima oleh sebuah organisasi haruslah adanya transparansi kepada seluruh anggota dan juga tentunya masyarakat agar tidak terjadi kesalahpahaman. Lagi pula, paguyuban itu juga merupakan milik bersama yang didalamnya terdapat anggota-anggota terpilih yang diharapkan bisa “mewakili” segenap elemen masyarakat. Oleh sebab itu, transparansi dan publikasi sangat diperlukan untuk menghindari korupsi dan penggunaan dana yang tak bisa dipertanggungjawabkan. Baik yang dipertanggungjawabkan kepada seluruh pihak di lingkup sosial maupun kepada Tuhan Yang Maha Esa khususnya.
Mulai saat ini, penulis menyarankan agar para anggota harus lebih kritis dalam menyikapi persoalan ini agar tidak adanya keuntungan sepihak dari balik layar, apalagi disaat yang lain sudah berlelah-lelah mengabdi di garda terdepan. Jangan sampai nantinya paguyuban yang sifatnya kekeluargaan yang penuh dengan cinta serta kasih sayang, malah berubah menjadi sebuah forum paguyuban bermental mafia akibat Ketua Umum yang semena-mena dan merasa paling berkuasa.
Padahal, aspek kekeluargaan dan pertanggungjawaban kebijakan sangat diperlukan demi bergeraknya roda organisasi dengan lancar kedepannya tanpa adanya dinamika yang timbul akibat kesalahpahaman.
Jika enggan mempertanyakan kemana semua aliran dana di organisasi karena alasan ikhlas dan mau mengabdi, maka itu adalah sebuah bentuk kebodohan yang nyata. Karena jika mau mengabdi, maka tenaga pengajar juga disebut sebagai “pengabdi”, namun mereka dihargai dan dibayar sesuai jasanya. Yang menjadi pertanyaan, mau mengabdi untuk siapa? Sedangkan tenaga pengajar maupun tenaga kesehatan yang disebut sebagai “pengabdi” saja dibayar sesuai tugas pokok dan fungsinya. Jika mau mengabdi untuk mendapatkan pahala, maka jika kita pergi ke tempat ibadah juga mendapat pahala, bahkan lebih besar.
Jangan mau disebut “mengabdi” jika terus hidup dalam pembodohan yang terselubung. Sudah saatnya akal sehat kita buka selebar-lebarnya dan sayangi serta hargai waktu, tenaga maupun pikiran agar bermanfaat kepada hal-hal yang lebih utama ketimbang kita bekerja rodi mengenyangkan salah satu perut yang tidak bertanggung jawab, yaitu perut seorang mafia. Nyan ban!