Pembela hak asasi manusia Inggris dan Indonesia Carmel Budiardjo, pendiri TAPOL, dan penggerak gerakan selama beberapa dekade, meninggal dalam usia 96 tahun.
TAPOL (Tahanan Politik Indonesia) mengumumkan, Carmel Budiardjo meninggal dunia Sabtu kemarin. Dilansir dari Asia Pacific Report, TAPOL bilang, sosoknya akan dirindukan oleh orang-orang yang hidupnya telah “disentuh dan kadang-kadang diubah oleh semangat dan tekadnya dalam perlindungan hak asasi manusia (HAM) dari Aceh hingga Papua Barat.
Budiardjo, seorang warga negara Inggris yang saat itu tinggal di Indonesia, dipenjarakan tanpa pengadilan oleh pihak berwenang Indonesia setelah mantan Presiden Suharto naik ke tampuk kekuasaan pada 1965. Setelah tiga tahun jadi tahanan hati nurani, ia dibebaskan dan kembali ke Inggris.
Pada 1973, ia mendirikan TAPOL untuk mengampanyekan pembebasan puluhan ribu tahanan politik menyusul kekejaman rezim Suharto di 1965 dan untuk mendukung kerabat ratusan ribu orang yang terbunuh.
Pembela HAM
Budiardjo bertekad untuk meningkatkan kesadaran internasional tentang kekejaman dan ketidakadilan di mana banyak negara Barat, termasuk Inggris, “terlibat dalam upaya mereka untuk menghentikan apa yang mereka lihat sebagai kebangkitan komunisme”.
Selama tiga dekade berikutnya, pekerjaan TAPOL diperluas untuk mencakup isu-isu yang lebih luas tentang hak asasi manusia, perdamaian dan demokrasi di Indonesia, termasuk di Aceh, Timor Timur ,dan wilayah Melanesia yang diperebutkan di Papua Barat.
“Sedapat mungkin, dan terlepas dari represi ekstrem rezim Orde Baru, kami membangun hubungan dan kolaborasi yang erat dengan para pembela hak asasi manusia yang sangat berani dan juru kampanye pro-demokrasi di sana,” kata TAPOL, dinukil dari Asia Pacific Report.
Dengan tumbuhnya kesadaran akan kerusakan lingkungan yang ditimbulkan oleh rezim terhadap alam dan masyarakat lokal, pada 1988 Budiardjo membantu mendirikan organisasi Down to Earth, untuk memperjuangkan keadilan ekologis.
Kemudian, pada 2007, Budiardjo dan TAPOL juga menjadi anggota pendiri London Mining Network, yang didirikan untuk mendukung masyarakat yang dirugikan oleh perusahaan pertambangan yang berbasis di London.
“Ketika Indonesia menjadi lebih demokratis selama 2000-an, kami semakin mengalihkan perhatian kami ke wilayah Papua Barat. Di sana, pelanggaran hak asasi manusia terus berlanjut, sebagian besar tidak terlihat dan tidak dibahas di Indonesia maupun internasional,” ungkap TAPOL.
Penghargaan John Rumbiak
Untuk pekerjaan internasional TAPOL di Papua Barat, Budiardjo juga menerima Penghargaan Pembela Hak Asasi Manusia John Rumbiak dan dihormati sebagai “Putri Sulung Papua” oleh para pemimpin masyarakat sipil Papua Barat pada 2011.
TAPOL sampai sekarang masih seperti yang didirikan Budiardjo — sebuah organisasi/jaringan kecil yang terdiri dari staf, sukarelawan, dan kolaborator yang berkomitmen, semuanya bertujuan untuk memberikan dampak yang besar.
“Kami tetap berkomitmen pada cita-citanya untuk mempromosikan keadilan dan kesetaraan di seluruh Indonesia, dan sangat berterima kasih atas semua yang dia sumbangkan dan ajarkan kepada kami,” kata TAPOL pada sumber yang sama.
“Pikiran dan belasungkawa tulus kami atas kehilangan yang besar dan menyedihkan ini khususnya ditujukan kepada keluarga Carmel, tetapi juga kepada semua orang di seluruh dunia yang mengenal dan mencintainya.”
Budiardjo di mata keluarga
Adalah Tari Lang dan Anto Budiardjo, putri dan putra dari pasangan campuran Indonesia-Inggris, Suwondo Budiardjo dan Carmel Brickman yang berlatar belakang keluarga pelarian Yahudi dari Polandia.
“Tentu kedua orang tua kami selalu sibuk bersosialisasi dengan akademisi-akademisi lain atau orang-orang yang terlibat dalam politik.
“Jadi sepanjang ingatan saya, di rumah kami selalu ada orang-orang berbicara, mengobrol dan bertukar pandangan yang membuat rumah lumayan ramai dan aktif,” ungkap Tari Lang dalam wawancara dengan BBC News Indonesia pada 15 Juni, kurang satu bulan sebelum Carmel meninggal dunia pada Sabtu (9/7).
Ketika itu ayah mereka, Suwondo Budiardjo, menempati posisi tinggi di Kementerian Angkatan Laut.
Suwondo bertemu dan kemudian menikah dengan Carmel di Praha ketika Suwondo kuliah di jurusan ilmu politik Universitas Charles. Carmel bekerja di Sekretariat International Union of Students (Persatuan Mahasiswa Internasional) di ibu kota Cekoslowakia atau sekarang Republik Ceko.
BBC News Indonesia mencatat, pada 1952, Suwondo memboyong Carmel dan Tari ke Jakarta. Awalnya mereka menempati rumah lain di Ibu Kota dan baru menempati rumah di Jalan Teuku Umar pada akhir 1950-an.
Memutuskan menjadi warga negara Indonesia pada 1954, Carmel bekerja sebagai peneliti ekonomi di Kementerian Luar Negeri terhitung selama periode 1955-1965, suatu posisi yang pas dengan mata kuliah ekonomi yang diambilnya di universitas prestisius di Inggris, London School of Economics.
“Carmel selalu aktif dalam pekerjaannya. Ia bukanlah sosok ibu tradisional karena ia selalu sangat aktif. Tetapi kami tetap diurus dengan baik, hanya saja ia tidak selalu ada,” kenang Tari pada sumber yang sama.
Related Items:Aktivis HAM, Kemerdekaan Papua, Orbituari, Papua, Pelanggaran HAM
Penulis: Anastacia Patricia