Home Archives

Komandan Brigade PII Aceh ‘Buka Suara’ Realisasi MoU Helsinki

SHARE |

Indonesian, Mataaceh.com | 17 tahun silam Aceh mendapat anugerah berupa perdamaian. Ditandatanganinya Memorandum of Understanding (MoU) Helsinki di Finlandia menandakan awal dari pembangunan kembali Aceh sebagai patron syari’at Islam di Indonesia.

Butir butir MoU juga merupakan peluang bagi Aceh untuk mendesain arah baru provinsi Serambi Mekkah. Namun selama 17 tahun damai Aceh dari 2005 sampai sekarang masih ada butir butir MoU yang belum terealisasi.

Walaupun topik ini sudah sangat sering dibahas, Koordinator Wilayah Brigade Pelajar Islam Indonesia Provinsi Aceh melihat diperlukan tindaklanjut khusus untuk segera menyelesaikan masalah tersebut.

“Masyarakat dan stakeholder Aceh jangan selalu terjebak dalam kepentingan yang tidak menyentuh substansi kesejahteraan rakyat. Butir butir MoU yang diperjuangkan dari tahun ke tahun hanya berfokus pada identitas ke Aceh an seperti bendera. Bendera, lambang dan hymne memang penting dan bagian dari amanah perdamaian, namun ada poin lain yang juga urgen untuk segera direalisasikan seperti pengadilan HAM dan perekonomian berkelanjutan” sebut Mohd Rendi Febriansyah, Komandan Brigade PII Aceh.

Sinergitas antara masyarakat dan elit Aceh sangat mempengaruhi terealisasinya butir butir MoU. Karena poin kesepakatan itu bukan hanya milik sekelompok elit, tapi milik seluruh rakyat Aceh. Termasuk pula seluruh partai politik lokal.

“Yang harus digarisbawahi adalah MoU Helsinki itu bukan hanya milik kelompok yang menandatanganinya, namun milik seluruh rakyat Aceh dalam konteks kesejahteraan dan pembangunan. Harus ada penyatuan persepsi mengenai permasalahan ini. Partai politik lokal yang lahir dari rahim MoU Helsinki bertanggungjawab secara moral untuk menyelesaikan amanah perdamaian. Kepentingan partai harus dikesampingkan dulu untuk merealisasikan MoU sesuai dengan porsi visi misi masing masing partai lokal”. Tambah Mohd Rendi.

“Semua kepentingan harus terakomodir dalam cita cita ini. Kombatan GAM, fakir miskin, akademisi, politisi dan lain lain harus mendapat nikmat dari perdamaian ini. Nikmat yang dimaksud adalah kesejahteraan bersama. Tidak boleh ada yang egois merasa memiliki, merasa yang paling berjuang disini. Karena semua masyarakat merasakan pedihnya konflik dan turut berjuang untuk kedamaian Aceh. Sehingga sangat wajib untuk seluruh rakyat merasakan nikmat perdamaian ini” Katanya.

Rendi mengkhawatirkan perjanjian sakral akan dilupakan dan diabaikan oleh generasi selanjutnya, karena dinamika politik yang terjadi. Maka menjadi tanggungjawab bersama agar apa yang dikhawatirkan tersebut tidak terjadi.

“Harus ada konsensus bersama, kesepakatan antar stakeholder. Kita harus sepakat untuk grand design kesejahteraan rakyat Aceh dan pembangunan Aceh secara inklusif melalui semangat perdamaian Aceh. Etnonasionalisme Aceh, semangat kesukuan Aceh kita padukan dengan semangat nasionalisme NKRI. Jangan sampai ada gerakan separatis lainnya muncul di Aceh dan jangan sampai generasi selanjutnya melupakan apa yang sudah diamanahkan oleh para pendahulu ketika perdamaian.” Tegasnya.

“Kami Brigade PII membuka ruang diskusi terbuka dan mengajak para stakeholder untuk merumuskan konsensus bersama tersebut, demi kemaslahatan Aceh. Dalam momen perdamaian ini, mari sama sama kita mewujudkan cita cita bersama ini. Dalam waktu terdekat akan kita laksanakan diskusi tersebut, Insya Allah.” Tutup Mohd Rendi Febriansyah.

Share :

SHARE |

Leave a Comment

ARTIKEL TERKAIT

REKOMENDASI UNTUKMU