Simak ! Ketua JASA Abdya Aceh Sebut Referendum Solusinya

Oleh

Oleh

Blang Pidie – Ibrahim Bin Abdul Jalil merangkap sebagai Ketua Dewan Pimpinan Wilayah Jaringan Anak Syuhada Aceh (DPW JASA) Kabupaten Aceh Barat Daya (ABDYA) Provinsi Aceh, meminta elit politik dan tokoh-tokoh Aceh agar segera mengusulkan referendum, jika Pemerintah Pusat tetap bersikukuh untuk melaksanakan pilkada 2024 di Aceh.

Penetapan pilkada pada bulan November 2024 oleh Pemerintah Pusat, hal ini mencerminkan bahwa mereka tidak lagi serius mempertimbangkan dan mulai mempreteli setiap klausul dalam UUPA dan MoU Helsinki di Aceh.

Sejauh yang kita perhatikan dan amati dalam isi perjanjian damai antara pemerintah RI dengan Aceh, sudah mulai terlihat gelagat inkar janji dari Pemerintah Pusat.

Ketidak seriusan ini dapat dilihat dari masa damai yang telah berlangsung, selama 16 belas tahun sudah berlalu, terhitung dari ketentuan-ketentuan butir-butir/point perdamaian dirumuskan atas penyetujuan bersama antara pemerintah Republik Indonesia dan GAM belum terealisasi dengan sempurna, dan sangat terkesan adanya upaya-upaya perdamaian tersebut sekedar untuk melerai konflik saja.

“Berdasarkan upaya pengingkaran ini, maka dengan itu sudah sepatutnya masayarakat Aceh kembali menghidupkan semangat referendum yang dulu pernah didengungkan” kata Ibrahim Bin Abdul Jalil yang akrab disapa  Ibrahim Al Farouq dalam keterangan tertulisnya yang di terima oleh media ini, Rabu lalu (07/04/21).

Ibrahim Al Farouq melanjutkan, bahwa ia berharap para elit politik, Lsm, akademisi dan tokoh-tokoh Aceh, agar segera mengusulkan dilaksanakan referendum.

“Jika pemerintah pusat memang tidak lagi menganggap adanya UUPA yang menjadi simbol keistimewaan Aceh dan Butir MoU sebagai syarat perdamaian dalam rangka menyelesaikan konflik Aceh. Jangan menganggap penyelesaian konflik Aceh hanya sekedar ingin melaksanakan teori manajemen konflik semata, tanpa melanjutkannya membahas ulang janji-janji politik dalam perdamaian” lanjut Ibrahim.

Menurutnya, masyarakat Aceh harus tahu, bahwa seluruh isi yang terdapat pada perjanjian damai antara Pemerintah Indonesia dengan GAM adalah naskah politik, dan bukan naskah hukum.

Dengan demikian, klausul  politik ini harus segera dibahas serta segera dijadikan menjadi naskah hukum, sehingga per itemnya dapat segera dimasukkan dalam lembaran negara agar masyarakat Aceh dapat melaksanakannya sesuai dengan apa yang sudah pernah disebutkan dalam perjanjian damai.
 
Seluruh elemen masyarakat Aceh harus segera bersuara, dan terutama sekali elit politik Aceh lintas partai harus bergerak, jika para elit politik tidak berani atau takut kehilangan jabatan untuk mengusulkan referendum, maka jangan salahkan kami generasi anak syuhada Gerakan Aceh Merdeka akan menggelar upaya-upaya untuk menggaungkan kembali semangat referendum untuk menentukan nasib atas Bangsa Aceh.

Ibrahim Al Farouq menegaskan, sampai pada tahap ini, harus kita pahami bahwa perdamaian yang telah terwujud adalah pengorbanan bangsa yang benar-benar telah menyitakan tenaga, pikiran, waktu, harta, air mata,  darah, bahkan nyawa segenap rakyat Aceh, sehingga dengan itu semua perjanjanjian damai MoU Helsinki dan UUPA terwujud.

Semestinya Pemerintah Pusat dapat dengan serius dan ridha memberikan kepada masyarakat Aceh atas apa yang telah dijanjikan, sehingga dengannya tidak akan terulang lagi pengingkaran politik terhadap Aceh, sebagaimana Pemerintah Pusat telah menjadikan Ikrar Lamteh hanya sekedar upaya meleburkan semangat juang rakyat Aceh dalam menentukan nasibnya sendiri.

Sampai Saat ini, belum terealisasi sepenuhnya butir-butir MoU Helsinki. Untuk itu, Pemerintah Pusat tidak boleh mengabaikan atau berusaha untuk mengingkari setiap butir-butir perjanjian tersebut, sebab itu sangat melukai hati kami generasi anak syuhada dan rakyat Aceh secara keseluruhan.

Menurutnya, tidak dapat dilaksanakan pilkada 2022 dengan alasan ketiadaan anggaran Pemerintah Aceh, sehingga dukungan program yang sudah dicanangkan KIP Aceh tidak dapat terealisasi, itu hanya permainan elit politik saja.

Terkait dengan pelaksanaan pilkada Aceh pada tahun 2022, jika memang Pemerintah Aceh tidak mau mengalokasikan anggaran untuk penyelenggaraan pilkada sebagaimana ketentuan dalam UUPA,  para elit politik, baik Gubernur Aceh, DPRA, DPR-RI dan DPD-RI harus berani bersuara dan melakukan class action yang masif dan sistematis untuk mempertahankan kekhususan dan keistimewaan Aceh.

Jangan hanya duduk diam saja dan pura-pura lupa dengan tugas, fungsi, dan tanggung jawab anda-anda para elit, hanya oleh karena memikirkan calon yang diusung belum memiliki kemampuan untuk maju pada pilkada tahun 2022.

“Sangatlah rendah jiwa para elit politik Aceh, jika hanya dengan alasan tersebut, elit politik mengabaikan kekhususan Aceh yang sudah tertuang dalam UUPA,” tutup Ibrahim Bin Abdul Jalil.

BERITA TERKAIT

BERITA TERKINI

ARTIKEL TERPOPULER
1
2
3
4
5
Opini Text