Lembaga Wali Nanggroe, Malek Mahmud dan Zakaria Saman.

Oleh

Oleh

Oleh : Ghazali Abbas Adan
Mantan Anggota Parlemen RI.

Mataaceh.com| Setiap menulis sesuatu yang bersinggungan dengan Lembaga Wali Nanggroe (LWN) saya senantiasa tidak dapat melupakan pernyataan Ahli Hukum Tata Negara Prof Dr Yusri Ihza Mahendra SH salah seorang yang tahu persis asbabul wurud LWN dan saya sepakat dengannya, ialah LWN  hanya menjadi maqam pengabdian Almukarram wal Muhtaram Dr. Tgk. Hasan Muhammad di Tiro sampai akhir hayatnya sekaligus sebagai penghormatan kepada beliau.

Dan memang untuk menampati maqam Wali Nanggroe rekam jejak nasab beliau sudah jelas belaka.

Demikian pula rekam jejak keilmuannya, baik penguasaan ilmu-ilmu fardhu ‘ain (ilmu agama Islam) maupun ilmu-ilmu fardhu kifayah (ilmu-ilmu kebutuhan komtemporer) tidak diragukan kemampuan beliau.

Namun qadarullah, sebelum menampatinya, Allahu yarhamuh sudah kembali ke alam baqa, Allaahummaghfir lahuu warhamhuu wa’aafihii wa’fu ‘anhu.

Karena figur yang paling berhak dan paling tepat menempati maqam Wali Nanggroe sudah kembali ke alam baqa, saya mengusulkan dalam revisi UUPA, Lembaga Wali Nanggroe (LWN) dihapus saja. Namun karena faktanya LWN sudah dan sampai saat ini masih termaktub dalam UUPA, sehingga konsekuensi obyektifnya lembaga ini harus diisi.

Dan untuk mengisinya sudah jelas kriteria, tugas pokok dan fungsi (tupoksi) nya itu dengan terang benderang termaktub dalam UUPA. 

Nah, untuk kemudian dengan berbagai cara yang didisain demikian rupa ditempatkanlah Malek Mahmud sebagai “Wali Nanggroe”. Kendati faktanya pula, mengacu kepada kriteria dan tupoksi LWN dalam UUPA sejatinya Malek Mahmud bukanlah maqam (neuduek) nya sebagai Wali Nanggroe, dan hal ini sudah teramat sering saya ungkapkan dalam tulisan-tulisan saya. 

Bahwa posisi dan sosok Wali Nanggroe itu harus orang yang berwibawa, dan tentu wibawa itu muncul bersamaan dengan rekam jejak nasab dan rekam jejak keilmuan, baik ilmu-ilmu fardhu kifayah, terutama ilmu-ilmu fardhu ‘ain, sesuai (muwafiq) dengan Aceh sebagai Nanggroe Syariat Islam.

Terhadap kriteria ini dan kualitas personalnya, sudah sekian lama dicokolkan sebagai “Wali Nanggroe”, dari sosok Malek Mahmud tidak pernah kelihatan. 

Juga Wali Nanggroe itu haruslah independen dan imparsial (non partisan), tetapi faktanya Malek Mahmud itu terikat dan tidak dapat melepaskan dirinya dengan “ideologi”  chauvinistik dan sangatlah pertisan, karena ia tetap “istiqamah” sebagai pengurus teras salah satu pertai politik.

Akan halnya kemampuan menjalankan tupoksi sebagaimana amanah konstitusi negara (UPPA), yakni yang paling utama adalah sebagai pemersatu rakyat Aceh. Ini uga tidak mampu dilaksanakan.

Alih-alih memparsatu dan meungukhuwahkan rakyat di semua zona dalam teritori Nanggroe Aceh, baik ukhuwah basyariyah maupun ukhuwah Islamiyah, mempersatukan/mendamaikan eksekutif dan legislatif Aceh yang kerap  dan berulang-ulang  mempertontonkan dinamika tidak elok dan tidak kompak sehingga merugikan rakyat banyak yang terjadi di depan meuligoenya juga tidak mampu dia lakukan.

Sekaitan pula dengan Aceh sebagai Daerah yang legal formal sesuai konstitusi negara (UUPA) berlaku dan diberlakukan syariat Islam secara kaffah, yakni apapun aktifitas/profesi yang dilakukan di Aceh harus sesuai syariat Islam, juga tidak pernah terdengar suara tawshiyah dan petuah berdasarkan nash quran dan hadis keluar dari mulut dan teladan dari Malek Mahmud tentang hal ini.

Sudah bertalu-talu rakyat memintanya keliling seluruh teritori Aceh, masuk ke masjid-masjid menjadi imam shalat, dan melalui khutbah jumat dan/atau ceramah bebas di depan khalayak menyampaikan tawshiyah penegakan syariat Islam kaffah, memperkokoh persatuan, persaudaraan (ukhuwah) antara masyarakat yang majemuk (agama, suku dan adat istiadat), memantapkah akhlak mulia (akhlak karimah) terutama bagi generasi muda, karena sebagaimana kerap diberitakan media massa akhir-akhir ini terjadi dekadensi moral dengan rupa-rupa perilaku yang tidak sesuai dengan undang-undang negara, wabil khusus syariat Islam.

Betapa dari mulut Malek Mahmudpun tidak pernah terdengar gaung dan gemanya. Kalau hanya urusan peusijuek-peusijuek, emak-emak dikampungpun cukup sering dan sangat ahli melakukannya.

Atau sekedar wira-wiri dengan tampilan pakaian khusus sembari menerima panggilan/sanjungan mentereng, tidaklah harus karena didudukkan dalam lembaga yang setiap tahun menguras uang rakyat puluhan miliar rupiah. Karana semua itu tidak memberi manfaat apapun untuk kemaslahatan dan kesejahteraan rakyat.

Dikaitkan dengan fenomena Malek Mahmud yang memang cukup enjoi, senang dan nyaman menikmati jabatan dengan rupa-rupa fasilitas mewah, kendati sejatinya berdasarkan kualitas personal Wali Nanggroe bukanlah maqam (neuduek) nya dan juga tidak mampu melaksanakan tupoksinya, adalah Zakaria Saman, yang populer/akrab di panggil Apa Karya, sosok yang sangat pupulis, karenanya beliau sangat dikenal oleh seluruh lapisan masyarakat di Aceh.

Beliau teramat sering mengeluarkan pernyataan dan menunjukkan sikap yang kadang-kadang menjadikan sebagian pihak terkaget-kaget, juga pernyataan beliau terbaru sebagaimana diberitakan media massa  (Serambinews, Senin, 6 September 2021), yakni “Rp 86 triliuan dana otsus kemana di bawa” dengan penjelasan yang panjang lebar tentang seluk beluk dan sejatinya dana Otsus. itu dimanfaatkan untuk kemaslahatan dan kesejahteraan seluruh rakyat.

“Saya kira pertanyaan Apa Karya tentang dana otsus itu adalah juga pertanyaan rakyat Aceh selama ini yang harus dijawab oleh pemangku amanah di Aceh”. 

Demikian pula dengan respon positif beliau berkaitan dengan pemilihan gubernur dan wakil gubernur dalam pilkada di Aceh tahun 2024.

Dan yang tak kalah menarik menurut saya adalah pernyataan Apa Karya ketika disinggung tentang kesediaan menjadi Wali Nanggroe, dengan tegas menjawabnya tidak. 

Menurut Apa Karya “Wali Nanggroe selain mengerti agama, juga harus mengerti negara. Bagaimana anak-anak saya (rakyat) jangan sampai kelaparan  seperti saat ini. Makanya saya katakan tidak jika diminta jadi Wali Nanggroe.

Ada yang menawarkan kepada saya, saya katakan tidak. Saya bersumpah tidak mau, karena terlalu besar tanggungjawabnya.

Pertama sekali dengan Allah, yang kedua dengan masyarakat, tanggungjawab di dunia dan akhirat. Di dunia ini kita hanya sebentar lagi hidup, setelah itu kita mati menuju akhirat”.

Betapa “pernyataan Apa Karya ini penuh makna yang merupakan cerminan akhlak karimah dalam kaitannya dengan pengembanan dan pertanggungjawaban amanah jabatan publik”.

Ini berbanding terbalik dengan karakter Malik Mahmud yang terkesan nekat, pèt mata, kap igoe ketika dicokolkan pada jabatan yang full merupakan amanah publik itu, sementara sosok dan kualitas personalnya sebagaimana saya deskripsikan di atas itu. Dia merasa enjoi dan nyaman-nyaman saja menikmatinya.

Sungguh luar biasa, dan agaknya Malek Mahmud sudah bersiap-siap untuk periode-periode selanjutnya, atau boleh jadi seumur hidup, hal ini seiring dengan rencana pansus DPRA berkaitan dengan revisi beberapa poin Qanun Wali Nanggroe, sebagaimna saya baca di media massa, dengan dibumbui rupa-rupa dalih pansus mengusulkan hendaknya dalam Rancangan Qanun Wali Nanggroe periodesasi Wali Nanggroe tidak dibatasi dua periode jabatan (Detik, Jumat, 03 Septembe, 2021).

Bagi saya, mengacu kepada dalil-dalil konstitusi negara serta fakta-fakta yang saya paparkan, dengan pemahaman melaksanakan fardhu kifayah, kendati  hanya sendirian dan dengan resiko apapun saya tetap berpendapat dan bersikap, sesungguhnya Wali Nanggroe bukanlah maqam (neuduek) nya Malek Mahmud.

Hasbiyallaahu wani’mal wakiil, laa hawla walaa quwwata illaa billaah.

Jurnalis : (RF)

Opini

BERITA TERKAIT

BERITA TERKINI

ARTIKEL TERPOPULER
1
2
3
4
5
Opini Text