Oleh: Muhajinur, Mahasiswa IAIN Lhokseumawe
Opini – Diskursus moderasi beragama menjadi isu sentral yang banyak mendapat perhatian publik ketika munculnya pandangan pemahaman keagamaan ekstrem dari sebagian kelompok dalam mengartikulasikan praktek keberagamaan, sehingga kadang memicu aksi-aksi intoleran dan kekerasan. Munculnya fundamentalisme, ekstremisme, radikalisme dan terorisme dilatarbelakangi oleh berbagai faktor yang sangat kompleks dan pelik. Salah satunya adalah pada aspek pemahaman terhadap ajaran fundamental ajaran agama yang bersifat literal-skriptural, rigid dan cenderung mengarah pada klaim kebenaran. Ciri utama ini berkaitan dengan pemahaman dan interpretasi mereka terhadap doktrin keagamaan, jihad misalnya, yang cenderung bersifat rigit dan literalis.
Munculnya fundamentalisme, ekstremisme, radikalisme dan terorisme dilatarbelakangi oleh berbagai faktor yang sangat kompleks dan pelik. Salah satunya adalah pada aspek pemahaman terhadap ajaran fundamental ajaran agama yang bersifat literal-skriptural, rigid dan cenderung mengarah pada klaim kebenaran. Ciri utama ini berkaitan dengan pemahaman dan interpretasi mereka terhadap doktrin keagamaan, jihad misalnya, yang cenderung bersifat rigit dan literalis. Disinilah signifikansinya.
*Argumen Moderasi Beragama*
Moderasi Beragama harus dipahami sebagai sikap beragama yang seimbang antara pengamalan agama sendiri (eksklusif) dan penghormatan kepada praktik beragama orang lain yang berbeda keyakinan (inklusif). Keseimbangan atau jalan tengah dalam praktik beragama ini niscaya akan menghindarkan seseorang atau kelompok masyarakat dari sikap ekstrem berlebihan, fanatik dan sikap revolusioner dalam beragama. Sepertitelah diisyaratkan sebelumnya, bahwa moderasi beragama merupakan solusi atas hadirnya dua kutub ekstrem dalam beragama, kutub konservatif atau ekstrem kanan di satu sisi, dan liberal atau ekstrem kiri di sisi lain.
Dengan demikian, moderasi beragama sesungguhnya merupakan kunci terciptanya toleransi dan kerukunan, baik di tingkat lokal, nasional, maupun global. Pilihan pada moderasi dengan menolak ekstremisme, radikalisme dan liberalisme dalam beragama adalah kunci keseimbangan, demi terpeliharanya peradaban dan terciptanya perdamaian. Dengan cara inilah masing-masing umat beragama dapat memperlakukan orang lain secara terhormat, menerima perbedaan, serta hidup bersama dalam damai dan harmoni. Dalam konteks masyarakat multikultural seperti Indonesia, maka moderasi beragama menjadi sebuah keniscayaan.
Gagasan moderasi beragama didasarkan pada dua hal. Pertama, secara diskursif, gerakan moderasi beragama diyakini sebagai penopang terciptanya harmonisasi sosial masyarakat di era mulikultural. Karena bagaimanpun, multikulturalisme merupakan realitas historis dalam masyarakat yang mesti disikapi secara positif. Dengan demikian, ekslusivitas beragama bisa menjadi batu sandungan ideologis untuk memecahkan problem pluralisme di Indonesia, sehingga pendidikan pluralis menjadi prioritas menjembatani doktrin eksklusif. Kedua, secara praksis, praktek kehidupan beragama masih mendikotomi klaim kebenaran dan keselamatan dalam masing-masing umat beragama mesti dikikis habis agar tidak terjadi sikap saling menyalahkan antara satu agama dengan agama lain.
*Nilai Prinsip dan Karakter Moderasi Beragama*
Sebagaimana sudah dielaborasi sebelumnya, bahwa moderasi beragama adalah suatu corak pemikiran dan metode pendekatan yang mendahulukan jalan tengah dalam mengkontekstualisasi Islam di tengah peradaban global. Dalam pelaksanaannya sikap moderasi selalu menghindari perilaku-perilaku yang ekstrem, mengelolah keberagaman menuju titik temu yang menekankan persamaan daripada perbedaan. Penguatan nilai, prinsip dan karakter moderasi beragama merupakan keniscayaan dan kata kunci untuk kedamaian dan keamanan bagi masyarakat. Ada empat indikator moderasi beragama, yaitu; 1) komitmen kebangsaan; 2) toleransi; 3) anti kekerasan; dan 4) akomodatif terhadap budaya lokal.
Komitmen kebangsaan merupakan indikator yang sangat penting untuk melihat sejauh mana cara pandang, sikap, dan praktik beragama seseorang berdampak pada kesetiaan terhadap konsensus dasar kebangsaan, terutama terkait dengan penerimaan Pancasila sebagai ideologi negara, sikapnya terhadap tantangan ideologi yang berlawanan dengan pancasila, serta nasionalisme. Sebagai bagian dari komitmen kebangsaan adalah penerimaan terhadap prinsip-prinsip berbangsa dalam Konstitusi UUD 1945 dan regulasi hukum di bawahnya.
*Membangun Kembali Inklusifitas Diantara Mahasiswa*
Dunia kampus sebagai “kawah candradimuka” keilmuan dan tempat penempaan calon pemimpin bangsa masa depan bangsa memang dituntut selalu dinamis. Perbedaan paham dan pemikiran adalah sesuatu yang biasa. Di sana terdapat banyak kelompok-kelompok kajian baik keilmuan maupun keagamaan. Masa menjadi mahasiswa adalah masa otonomi berfikir, pematangan dan penemuan identitas diri. Namun jangan lupa, masa mahasiswa dan dunia kampus adalah tempat membaca konstruk masyarakat Indonesia seperti apa yang terbaik untuk kolektifitas kita sebagai bangsa. Sebagian mahasiswa barangkali sering lupa, mereka terlalu asyik dengan harapan kondisi yang pertama, namun lupa untuk memikirkan bagian yang terakhir.
Ada enam prinsip yang perlu dikembangkan dalam pendidikan moderasi beragama yaitu sikap humanis, realistis, inklusif, adil, kerjasama dan toleran. Dia juga menawarkan empat langkah mengembangkan moderasi beragama untuk generasi milenial. Pertama, manfaat perkembangan tehnologi media sosial dalam menyebarkan luaskan moderasi beragama; kedua, melibatkan generasi milenial dalam kegiatan positif di masyarakat; ketiga, perlu ada ruang dialog yang memadai bagi generasi milenial baik di lembaga pendidikan, di rumah dan di masyarakat; keempat, mengoptimalkan fungsi keluarga sebagai lembaga peminaan karakter yang positif.
*Pancasila dan Moderasi Agama*
Populisme dan ekstremisme beragama faktanya adalah deviasi dari semangat Pancasila. Gerakan identitas, sebagaimana dalam populisme, membawa satu kemungkinan menempatkan identitas tertentu lebih superior dari yang lain. Meski berangkat dari narasi ketertindasan, politik identitas secara nyata bergerak dengan jalan mempertentangkan satu identitas dengan identitas lainnya. Pada ujungnya, politik identitas berupaya untuk menomorsatukan identitas golongan di atas identitas yang lain. Situsi ini adalah antiklimaks dari semangat menghargai keragaman.
Ekstrimisme beragama tanpa tabir jelas berusaha merobohkan negara. Atas nama agama, para ekstremis tidak hanya mengingkari keragaman, bahkan berusaha menyingkirkan dengan darah siapapun yang mereka anggap berbeda keyakinan serta garis perjuangan dengan mereka. Perilaku esktrim yang menebar teror ini jelas lebih berbahaya dari yang pertama. *( email: ajirjuli11@gmail.com )*