Home Archives

Kasus Korupsi Beasiswa, Anggota Parlemen Membisu, Mana Fungsi Kontrolnya ?

SHARE |

Banda Aceh – Kasus korupsi beasiswa sudah mencuat dan merebak dalam masyarakat sejak tahun 2017. Ini bermakna kasus uang rakyat yang sejatinya untuk kemaslahatan rakyat dengan nomenklatur beasiswa yang diselewengkan untuk keuntungan pribadi.

Disisi lain aparat penegak hukum yang berwenang menangani dan mengusut patgulipat anggaran yang bersumber dari uang rakyat itu, tetapi dipermainkan oleh pihak-pihak yang mengelola dan dan menyalurkannya kepada yang berhak menerima, sejak mencuat sudah mengusutnya, namun mungkin karena begitu ruwet dan/atau boleh jadi niscaya tidak salah sasaran ketika melakukan pengusutan, penyelidikan dan penyidikan, sehingga memakan waktu yang cukup lama, yakni tahun 2017, awal tahun 2022 baru diumumkan tersangkanya. 

Sampai tahap ini saya memberi apresiasi kepada aparat penegak hukum, dalam hal ini aparat kepolisian, dan saya kira masyarakat luas yang selama ini dengan penuh harap menunggu kerja aparat penegak hukum  mengumumkan hasil kerja kerasnya, juga merasa plong karena telah jelas para tersangka keterkaitan korupsi anggara beasiswa itu dengan menyebut insial dan jabatannya.

Tetapi serta merta pula terhadap sosok-sosok para tersangka itu muncul suara dari elemen masyarakat yang mempertanyakannya. Suara yang paling nyaring dan bertalu-talu datang dari lembaga anti rasywah yang memang selama ini tidak pernah lelah dan sangat vokal meneriakkan kalau dalam pengelolaan keuangan yang berasal dari uang rakyat ada indikasi diselewengkan untuk kepentingan pribadi dan kelompok bukan kepada rakyat yang diperuntukkan dan membutuhkannya.

Adalah Gerakan Anti Korupsi Aceh (GeRAK), sebagaimana ditulis media massa (Kamis, 03/Maret/2022) melalui Koordinatornya Askhalani dengan bahasa yang tegas menyatakan, “Penetapan tersangka kasus beasiswa tidak masuk akal. Jika merujuk kepada objek perkara yang ditangani Polda Aceh, maka tidak tepat yang menjadi tersangka dalam kasus itu para pihak yang mengelola pada proses tahapan administrasi saja. Ini hanya disasar pada pelaku yang sama sekali tidak pernah mendapatkan manfaat dari perbuatan yang dilakukan, tetapi seharusnya yang memperkaya diri, dan salah satu pihak yang diduga terlibat melakukan adalah okum anggota DPRA, yang juga melakukan unsur perbuatan secara terencana dan terstruktur, yaitu memperkaya diri sendiri dengan memanfaatkan jabatan yang melekat.”

Adalah juga Koordinator Masyarakat Transparansi Aceh (MaTA) Alfian dengan diksi yang hampir sama dengan Askhlani menyatakan (02/Maret/2022), “Kasus beasiswa seharusnya oknum anggota DPRA juga tersangka, karena mereka merencanakan dan memerkaya diri. Bahwa terkait penetapan tersangka kasus korupsi beasiswa Aceh tahun 2017 yang telah diumumkan oleh pihak Polda Aceh, dimana terfokus pada oknum pelaku di level administrasi dan belum menyentuh pada aktor atau pemilik modal yang terlibat sejak awal dari perencanaan penganggaran dan mengusul nama-nama penerima beasiswa”.

Dengan redaksi yang lebih tegas Alfian menyatakan (02/22) “Polda Aceh jangan lindungi aktor utama korupsi beasiswa mahasiswa. Kasus korupsi beasiswa  Aceh secara kontruksi ini tidak akan selesai kalau ada upaya aktor “diselamatkan”, seharusnya ada kemauan yang kuat dari Polda Aceh mengusut secara utuh aktornya, sehingga tidak meninggalkan pesan pada publik, kalau berpengaruh tidak dapat tersentuh hukum, dan ini sangat berimplikasi pada kepercayaan publik. Padahal modus pemotongan dalam kasus kejahatan luar biasa ini dengan sangat mudah untuk mengusutnya”.

Betapa lugas dan tegas pernyataan Askhlani dan Alfian dan menurut saya, berdasarkan fakta dari proses penyelidikan, penyidikan dan penatapan tersangka korupsi beasiswa Aceh yang jumlahnya sangat fantastis mencapai
Rp 22,3 miliar alias Rp 22.300.000.000 (dua puluh dua ribu tiga ratus juta rupiah), bahwa apa yang disuarakan Askhalani dari lembaga anti rasywah GeRAK dan Alfian dari MaTA, benar belaka. Saya memberi apresiasi dan semestinya siapapun yang konsisten bahwa setiap sen anggaran yang bersumber dari kas negara harus memberi manfaat kepada rakyat yang membutuhkannya, bukan untuk dikorupsi, juga membenarkan dan sepenuhnya mendukung pernyataan kedua pejuang  anti korupsi ini.

Wabil khusus sejatinya anggota perlemen yang pada dirinya melekat tugas pokok dan fungsi (tupoksi) sebagaimana diatur dan undang-undang dan peraturan tata tertib kerja parlemen, dimana selain fungsi legislasi, budgeting, representasi, juga fungsi kontrol, harus proaktif dan transparan melaksanakan fungsi kontrolnya itu, dan saya memahami fungsi kontrol ini adalah amar ma’ruf nahi munkar, terutama terhadap pejabat publik berkaitan dengan kinerja dan pengelolaan keuangan yang bersumber dari kas negara, dimana setiap sennya harus memberi manfaat bagi kemaslahatan dan kesejahteraan hidup rakyat. Disisi lain sebagai mukmin/muslim dalam segala ruang dan waktu amar ma’ruf nahi munkar juga harus suarakan/dilakukan terhadap diri, keluarga dan masyarakat luas, karena ia merupakan doktrin keimanan/keislaman.  

Berkaitan dengan korupsi beasiswa Aceh, ketika sudah begitu nyaring dan bertalu-talunya lembaga anti rasywah (GeRAK dan MaTA) menyuarakannya, sejatinya sesuai dengan amanah tupoksi yang melekat pada dirinya anggota parlemen tidak boleh apatis. Tapi faktanya anggota parlemen Aceh dari tingkat kabupaten/kota, provinsi dan tingkat pusat sepertinya kompak diam  membisu. Padahal uang rakyat yang dikorupsi itu bukanlah jumlah yang sedikit. Semestinya fungsi kontrol terhadap kinerja  pejabat publik harus dilaksanakan, tentu termasuk mengontrol kinerja anggota DPRA berkaitan dengan pengelolaan keuangan negara untuk beasiswa yang harus tepat sasaran dan bermanfaat, tidak dikurangi/dikorupsi sesenpun, demikian pula kinerja aparat penegak hukum niscaya bekerja profesional ketika menangani siapapun yang diduga terlibat tindakan korupsi.

Sekaitan dengan kasus korupsi beasiswa Aceh yang sudah merebak sejak tahun 2017, melalui proses yang panjang dan lama kini oleh Polda Aceh sudah mengumumkan para tersangka.

Terhadap pengumuman ini pihak lembaga anti rasywah dengan tegas telah mengeluarkan pernyataannya sebagaimana diuraikan di atas, dan sayapun sependapat dengan lembaga anti rasywah ini, sekaligus saya menyatakan bahwa terhadap kasus korupsi beasiswa Aceh anggota perlemen Aceh sampai saat ini masih diam membisu dan tidak malaksanakan tupoksi yang melekat pada dirinya sebagaimana telah diamanahkan dalam undang-undang dan peraturan tata tertib perlemen. Agaknya mereka dihantui oleh ungkapan “jeruk makan jeruk”.

Tetapi dalam kaitannya dengan penegakan hukum (law enfercement) semestinya memahami semangat dan doktrin equality before the law. Dan sebagai anggota parlemen mukmim/muslim juga terikat dengan ajaran Allah swt yang dengan jelas termaktub dalam al-quran, “Wahai orang-orang yang beriman, jadilah kamu penegak keadilan, menjadi saksi karena Allah, walaupun terhadap dirimu sendiri atau terhadap ibu bapak dan kaum karabat/temanmu.

Jika dia (yang terdakwa) kaya ataupun miskin, maka Allah lebih tahu kemaslahatan (kabaikannya). Maka janganlah kamu mengikuti hawa nafsu karena ingin menyimpang dari kebenaran. Dan jangan kamu memutarbalikkan (kata-kata) atau enggan menjadi saksi, maka ketahuilah Allah Maha Teliti terhadap segala apa yang kamu kerjakan” ( Al-Quran, An-Nisa’, ayat 135).

Rasulullah Muhammad saw juga mengingatkan sebagaimana dalam salah satu hadis yang diriwayatkan oleh Aisyah Ummul Mu’minin, “Sesungguhnya telah binasa umat sebelum kamu, karena apabila yang mencuri itu orang-orang mulia (pembesar/orang terhormat) mereka tinggalkan (tidak menegakkan hukum), dan apabila yang mencuri itu orang-orang lemah (kecil/rakyat jelata) meraka tegakkan hukum. Demi Allah, sekiranya Fathimah binti Muhammad mencuri, aku potong tangannya”.


Ghazali Abbas Adan
Mantan Anggota Perlemen RI.

Tags:

Share :

SHARE |

Leave a Comment

ARTIKEL TERKAIT

REKOMENDASI UNTUKMU